Pages

7 Feb 2012

Selamanya Cinta (Part 3, End)

"Maksudku... di sampingku." Luna berkata lirih. Rona merah tersembul samar di kedua pipinya. Nino tersenyum dan mengelus puncak kepala Luna dan mengecupnya lama.

"Kau ingin aku tidur di sampingmu?"

Luna mengangguk cepat sebagai tanggapan.

Nino memicingkan matanya. "Bukannya kau tak suka dekat-dekat denganku?"

"I, iya sih. Tapi kan sekarang suasananya beda, bodoh!"


Nino menegakkan tubuhnya. Kedua matanya menajam. Hati Luna mencelos saat melihat mata Nino yang seakan mampu menghujam jantungnya.

"Bagaimana perasaanmu padaku?"

Luna tergagap. Tidak menyangka Nino akan mengeluarkan pertanyaan seperti itu.

"A, apa... maksudmu?" Luna bertanya takut-takut. Antara takut akan guntur yang makin menggila dan takut akan tatapan mata Nino yang semakin menajam.

"Tak perlu berpura-pura tentu kau tau maksud pertanyaanku kan? Apa perlu kuperjelas? Hm?" Luna hanya diam. Matanya liar bergerak kesana-kemari. Gelisah akan penjelasan yang akan diungkapkan Nino.

"Apa kau mencintaiku?"

JGEERR!!!

DEG! Luna membeku sesudahnya. Bukan, bukan karena guntur. Melebihi segala apapun yang ia takutkan di dunia ini, pertanyaan Nino yang mendadak ini begitu menekan hatinya.

Lama. Lama sekali Luna terdiam. Terguguh dalam lekatnya sunyi. Seakan diam mampu menjawab semua, malahan bukan.

Udara terasa semakin berat kala Nino menghela napas. Kali ini terdengar lelah dan pasrah.

"Jadi begitu." desah Nino. Wajahnya menunduk. Merasa bahwa semua cintanya berujung sia-sia dan tak berguna. Raut sedih yang sebetulnya sangat di benci Luna. Tapi tenggorokannya tercekat. Tak ada getaran pita suara yang terdengar bergesekan dengan udara.

"Baiklah. Kurasa aku memang..."

"Je t'aime!"

Nino mendongak dan menatap mata hitam Luna lekat. Sepasang bola mata cokelat itu membelalak lebar. Seakan tidak percaya dengan pendengarannya.

"Kau..."

"Je t'aime... Nino." Kali ini Luna mendongak. Menatap mata pemuda tampan di depannya tanpa gentar. Cowok yang selama ini terus menyertainya dimana pun ia berada. Satu-satunya orang yang membuat hatinya bergetar setiap saat. Sebuah sensasi yang selalu ia tunggu selama ini, kini datang di hadapannya. Harusnya ia tau, Nino adalah harta baginya. Luna tau, sangat tau. Tapi cara pengekspresian atas rasa sayangnya sukar untuk diterjemahkan bahasa nyata. Hanya kalbu yang bicara. Cukup itu.

Luna tersentak ke belakang saat Nino dengan cepat memeluknya. Semakin lama, semakin erat, dan erat. Ada secercah rasa hangat yang menyelusup ke dalam hatinya. Bahagia dan cinta bercampur memenuhi setiap rongga dadanya. Luna membalas pelukan Nino lebih erat. Seakan tak ingin melepaskan pemuda itu.

Dan keduanya larut dalam adegan termanis sepanjang masa dalam drama percintaan, dengan Tuhan sebagai sutradara dan penulis skenarionya.

***

"Maafin aku ya?" Luna menoleh ke kiri. Wajahnya langsung berhadapan tepat di depan wajah Nino.

"Hm?" Nino membelai lembut pipi Luna.

Luna berdeham sekali. "I, iya. Aku... aku mau minta maaf atas sikap kasar yang selama ini aku perbuat sama kamu." Luna menundukkan wajahnya. Sesal mulai merasuki jiwanya. Bisa-bisanya ia bertindak sedemikian rupa pada orang yang mencintainya. Pada orang ia cintai.

Nino hanya tersenyum menanggapi. Sebuah kecupan manis mendarat di kening Luna. Dengan cepat, gadis itu menghindar.

"Kau! Jangan mentang-mentang aku sudah bilang cinta padamu, lantas kau kurang ajar ya!" Luna mengepalkan tinjunya di udara.

Nino mengangkat sebelah alisnya. "Bukannya beberapa jam yang lalu aku juga mencium keningmu?"

Luna makin mengepalkan tinjunya. "Tadi ya tadi. Sekarang ya sekarang. Lagipula tubuhmu terlalu dekat, bod... pintar!" napas Luna terengah karena terlalu semangat berkoar-koar.

JGEERRR!!!

"AAAAAAAAAAAKH!!!!"

Luna menarik tubuhnya mendekat dan memeluk Nino erat. Tubuhnya menggigil ketakutan. Tawa seketika meledak dari bibir Nino. Luna mendongak dan menatap sebal.

"Kenapa kau ketawa?!"

"Karena kau lucu."

"Aku tak melawak."

"Yes you are."

"Nggak usah sok ng-Inggris deh!"

"Nggak kok."

"Masih mau ngelak?!"

"Jangan marah-marah dong."

"Siapa yang marah?!"

"Kamu, Sayang." Nino menarik salah satu sudut bibirnya.

Luna membelalak dan melempar bantal ke wajah Nino. Perang bantal pun terjadi di tengah amukan badai. Orkestra alam itu masih terus berlanjut. Berganti lagu, ada desiran angin dan percikan air, terkemas menjadi satu dalam pekatnya malam.

Di dalam hati, Luna dan Nino sama-sama berjanji: "Semoga aku bisa mencintainya... selamanya mencintainya."

Fin...

0 Comments:

Posting Komentar

 
Cool Grey Outer Glow Pointer