Pages

7 Feb 2012

Selamanya Cinta (Part 1)

"Aaah, aku ngantuuuk! Hoaaaahm!" Luna menguap lebar. Mata hitamnya mulai meredup seiring dengan kantuk yang mulai menggerogoti tubuhnya.

PLAKK!!!

"Adaaow! Sakiiiiit!!!" Luna menundukkan wajahnya. Kedua tangannya memegang kepalanya yang nyut-nyutan di timpuk buku tebal dari Nino. Cowok itu menatap Luna tanpa rasa bersalah dan kembali ke posisi duduknya semula.

"Kau!" Luna menunjuk wajah Nino kesal. "Apa-apaan sih?! Kenapa menimpuk kepalaku dengan buku itu! Buku itu kan tebalnya setengah mampus! Senang ya lihat aku menderita? Hah?! Atau kau ingin aku amnesia selamanya? Tak bisa mengingat apa-apa lagi? Begitu?! Atau bisa saja kan aku... eh, hei! Kau mau kema..."

Sebuah kecupan manis mendarat di kening Luna. Kata-kata gadis itu terhenti secara otomatis, diganti dengan rona merah yang mulai menyembul di kedua pipinya.

"Aku ingin membuat teh. Siapa tau bisa menghilangkan kantukmu dan meminimalisir ocehanmu." Nino menarik salah satu sudut bibirnya hingga terbentuk sebuah seringai jahil. Setelah itu, pemuda tampan itu menghilang di tikungan.

"Ukh! Dasar Nino bodoh!" kata Luna kesal. Sesaat, matanya melihat ke atas. Ia meraba keningnya dan tersenyum manis.

***

Sekembalinya dari dapur, Nino mendapati mulut Luna yang tengah komat-kamit menghafal sejarah perang yang pernah terjadi di Indonesia, berikut dengan tanggal, latar belakang, alasan, serta penyelesaiannya.

"Lain kali kalau mau belajar jangan pakai sistem kebut satu malam." Nino menyodorkan secangkir teh hangat ke depan Luna. Tapi tangan gadis itu meminggirkan cawan cangkir itu. Berusaha untuk konsentrasi dan tidak terlena dengan aroma harum yang menyembul dari teh.

"Dasar berisik! Lebih baik kau diam saja. Atau setidaknya bantu aku!"

"Jadi kau mau dibantu?" mata Nino membelalak. Agak tidak percaya dengan perkataan Luna. Karena gadis yang ia cintai ini selalu menolak menerima bantuan yang disodorkan olehnya.

Luna berpaling dari buku sejarahnya dan menatap Nino kesal. "Jadi kau mau aku mati muda gara-gara pelajaran sialan ini? Ha?"

Nino tersenyum singkat, lalu duduk di samping Luna.

"He, Hei! Apa-apaan kau?! Ngapain dekat-dekat, ha?! Mau macam-macam ya?! Jangan mentang-mentang ortuku lagi di luar kota dan kau diminta mereka menjagaku, kau bisa seenaknya ya!" Luna menjauhkan tubuhnya dari Nino. Tapi tangan pemuda itu menahannya dan mengembalikan posisi duduk Luna seperti semula, di samping tubuhnya.

"Kau ini..."

"Diam, dan dengarkan!"

"Memangnya kau siapa bisa menyuruhku begitu saja?" Luna mulai terdengar emosi.

"Aku pacarmu."

Bibir Luna terbuka dan tertutup berulang kali. Entah mengapa, mendengar kalimat itu, suaranya tercekat. Seperti di kunci di dalam tenggorokan. Akhirnya yang ia lakukan hanyalah memalingkan wajahnya dan berkata, "Ukh! Dasar Nino bodoh!"

Nino tersenyum simpul lalu menarik Luna agar lebih dekat padanya. Satu per satu Nino menjabarkan perang-perang tersebut sampai Luna mengerti.

"Nah, kalau Perang Puputan terjadi pada tanggal berapa?"

"Eh? Umm, tunggu! Aku ingat-ingat dulu. Hm, tanggal... tanggal..."

Satu helaan napas keluar dari bibir Nino.

"Eh, tung... tunggu dulu! Aku kan belum menjawab!"

"Kau tak tau jawabannya kan?" Nino menatap mata hitam Luna. Dalam, namun tanpa tekanan. Akhirnya Luna mengangguk lemah sebagai jawaban.

"Buka halaman 201 dan baca." suruh Nino. Cowok itu meregangkan tubuhnya sebentar. Namun aktifitas kecilnya itu terganggu saat terdengar keluhan panjang dari bibir Luna.

"Ninoooo, yang manaaaa? Ini kan banyak!" Luna membolak-balik halaman dengan malas.

"Cari yang Perang Puputan aja." Nino mulai merapat ke tubuh Luna. Satu desahan kembali terdengar dari bibirnya. "Kau membuka halaman yang salah. Dasar bodoh."

"Heh! Itu kan bukan salahku! Habis, aku ngantuk. Kau pikir sudah jam berapa sekarang, ha? Sudah lewat tengah malam tau!" seru Luna keki.

"Maka dari itu, lebih baik diam. Dan dengarkan aku mendiktekan semuanya daripada kau mengomel terus. Sini, cepat mendekat!"

"Ah, kenapa harus dekat-dekat sih?! Dasar mesum!"

"Bukannya kau mau kubantu?"

"Tapi tak usah dekat-dekat begitu bisa kan?"

"Bagaimana kau bisa melihat apa yang kuajarkan kalau kau duduk jauh-jauh dariku?"

"Bisa saja! Jangan menggunakan kesempatan di dalam kesempitan ya!"

"I'm not."

"Bohong!"

"Ya sudah."

"Aah! Sudahlah! Kau hanya bisa membuatku kesal! Lebih baik kau keluar supaya aku bisa konsentrasi!!!" seruan itu mengakhiri pertengkaran mereka.

Nino menatap Luna dalam, lalu beranjak dari ruang tengah dan meninggalkan Luna sendirian.

"Hah! Pergi saja sana! Dasar Nino bodoh!" Luna mengambil kasar bukunya, lalu membacanya dalam emosi tingkat dewa yang sukarela menyelubungi hatinya.

Bersambung...

0 Comments:

Posting Komentar

 
Cool Grey Outer Glow Pointer