Pages

24 Feb 2012

11 Tahun Dalam Keegoisan

Aku tidak bisu, aku hanya tidak suka bicara, karna aku lebih suka diam. Aku tidak tuli, aku hanya tidak mau mendengar, karna ku rasa kata-kata itu tak pantas untuk ku dengar. Aku juga tidak buta, aku hanya tidak pernah melihat, aku tidak pernah melihat seperti apa birunya langit, aku tidak pernah melihat seperti apa indahnya lembayung senja disore hari, aku juga tidak pernah melihat seperti apa terangnya bulan dimalam hari. Aku tidak seperti mereka, dapat terbang bebas ke angkasa, kemudian turun lagi ke bumi sesuka hati. Mereka punya sayap yang membuat mereka terbang. Sedangkan aku, aku tidak tahu sudah sejak kapan sayap-sayapku patah. Mungkin sejak 16 tahun silam saat aku dilahirkan. Entahlah.. Aku tidak pernah suka saat ada banyak orang disekelilingku. Karna saat aku berada diantara banyak orang aku merasa seperti seekor semut, dan mereka adalah gajah yang bisa mengancam keselamatanku, mereka bisa saja menginjaku setiap saat, karna aku begitu kecil dan mereka sangat besar.


Mereka bilang aku adalah seorang anak dengan keterbelakangan. Tapi entahlah.. aku merasa aku baik-baik saja. Apa setiap orang yang mempunyai keterbelakangan selalu merasa kalau dirinya baik-baik saja. Mungkin.. Bagiku yang terpenting adalah aku merasa nyaman dengan diriku sendiri. Meski terkadang aku juga merasa benci dengan diriku sendiri, aku yang egois dan pengecut. Aku tidak risih jika ada orang yang mengatakan kalau aku tidak normal. Karna aku punya Bunda, aku bisa bersandar kapanpun dibahu Bunda. Sebenarnya aku merasa bersalah kepada Bunda, karna Bunda harus melahirkan seorang anak yang hanya membuatnya kecewa dan menangis saja. Tapi rasanya tak pernah sekalipun ku dengar Bunda mengeluh.

“Happy birthday to you, happy birthday to you, happy birthday, happy birthday, happy birthday Clara..” Terdengar seperti suara Bunda dibalik pintu. Aku bangkit dari tidurku dan segera membukakan pintu. “Surprise..” Bunda mengagetkanku. “Selamat ulang tahun ya sayang, Bunda sayang Clara.” ucap Bunda sembari mengecup keningku. Aku tersenyum dan memeluk Bunda. Lalu aku meniup lilin dan memotong kue ulang tahunku. Potongan pertama tentu saja aku berikan pada Bunda, dan potongan kedua untuk.. aku tak kuasa menahan air mataku saat aku memotong potongan kue keduaku itu, aku teringat akan sosok Ayah. Seharusnya potongan kue kedua itu untuk Ayah, tapi kini Ayah tak datang lagi. Sudah 11 tahun Ayah tak pernah lagi datang saat ulang tahunku. Bunda memeluku dan menghapus air mataku. Meski aku tak mengatakan apapun, tapi Bunda sangat tahu kalau aku sangat merindukan Ayah saat itu. “Suatu saat Ayah pasti akan datang dan memberikan kamu hadiah yang sangat indah.” ucap Bunda seraya melepaskan pelukannya. Aku berlari ke kamarku. Ada rasa sakit yang begitu sakit saat aku mengingat Ayah, dan juga peristiwa itu, peristiwa yang membuat aku kehilangan Ayah, peristiwa yang membuat hidupku jauh dari kenormalan dan juga keterbelakangan, peristiwa yang membuat aku harus terus menerus mengecewakan Bunda. Detail demi detail peristiwa itu tak juga hilang dari ingatanku. Saat mobil yang aku dan Ayah tumpangi terbalik karna sebuah mobil yang menabrak kami dari arah yang berlawanan. Lalu kulihat setetes darah mengalir dari kepala Ayah, selanjutnya tetesan berikutnya, lagi dan lagi terus menetes. Sampai akhirnya Ayah kehilangan banyak darah, kemudian kehilangan nyawanya saat itu juga. Satu yang selalu aku ingat akan kata terakhir yang Ayah ucapkan saat itu, “Ayah sayang Clara.” Kata-kata itu masih terngiang di telingaku sampai saat ini.

Kalau saja waktu itu aku tidak merengek hanya karna ingin membeli es krim coklat kesukaanku, mungkin semua takkan seperti ini. Aku tidak akan kehilangan Ayah, aku tidak akan kehilangan kehidupan normalku sebagai seorang remaja 16 tahun, dan aku juga tidak akan membuat Bunda menangis setiap hari karna keadaanku. Kurang lebih sebelas tahun aku hidup tanpa bicara, satu-satunya yang aku lakukan hanya mengangguk atau menggeleng saja. Juga tidak mendengar dan melihat, karna setiap hari aku menghabiskan 24 jam waktuku hanya untuk duduk dan diam saja dirumah. Aku hanya bisa mendengar apa yang dikatakan oleh Bunda, itupun tidak sepenuhnya aku menangkap perkataannya. Setiap saat aku hanya bisa memandang dinding-dinding kamarku yang warnanya sudah memudar itu, tanpa aku tahu seindah apa warna pelangi diluar sana.

Tiba-tiba aku teringat pada Bunda, tadi aku meninggalkannya sendiri disana. Seharusnya aku mengucapkan terimakasih pada Bunda atas kejutannya, tapi aku malah meninggalkannya begitu saja. Hargghh…. Aku menghapus sedihku dan berniat menemui Bunda yang mungkin ada dikamarnya. Setelah aku melihatnya, ternyata Bunda tak ada disana. Aku mencarinya ke tempat lain, dan menemukannya di halaman belakang rumahku. Bunda sedang duduk disana dengan segelas teh hangat yang menemaninya. Aku menghampirinya, tapi aku menghentikan langkahku sebelum aku benar-benar mendekati Bunda. Ada sesuatu yang membuat kakiku berhenti melangkah, sesuatu itu tangan Bunda, tangan Bunda terlihat seperti sedang memegang sesuatu, itu.. itu photo aku dan Ayah. Photo itu diambil saat Ayah masih ada dan saat aku masih baik-baik saja dengan hidupku. Ku lihat butiran-butiran air mata membasahi selembar photo yang sudah kusam dimakan waktu itu. Sekarang aku tau betapa terlukanya Bunda, bahkan dia lebih terluka dari aku. Aku memang egois dan pengecut. Seharusmya aku ada saat Bunda terluka karna kehilangan Ayah, seharusnya aku menghapus air mata Bunda saat Bunda menangis karna Ayah meninggalkannya, seharusnya aku memeluk Bunda saat Bunda merindukan Ayah. Bukan berdiam diri layaknya pengecut.

“Maaf Bunda, karna selama ini aku hanya memikirkan perasaanku saja. Aku terlalu egois dan berpikir kalau hanya aku yang terluka atas kepergian Ayah. Aku terlalu sibuk dengan kesedihanku sampai-sampai aku lupa kalau aku masih punya Bunda yang harus ku jaga, Bunda yang harusnya ku buat bahagia, bukan seperti ini.” Aku memeluk Bunda dari belakang. Aku tak sadar kalau tadi untuk pertama kalinya setelah sebelas tahun aku menggerakan bibirku dan berbicara lagi. Bunda memeluku erat, kami terlarut dalam haru biru tangis. Bunda enggan melepas pelukannya, kami terlihat seperti seorang Ibu dan anak yang baru bertemu setelah beberapa puluh tahun lamanya berpisah.

***

Setelah hari itu, aku dan Bunda memutuskan untuk memulai hidup baru kami. Kami akan mulai menyusun kembali puzzle kehidupan kami yang sempat tertunda sebelas tahun lamanya karna keegoisanku.

“Ayah.. Hari ini untuk pertama kalinya aku datang ke makam Ayah. Maaf... maaf Ayah karna aku baru sempat datang hari ini. Aku harap Ayah memaafkanku, karna kalau tidak mungkin selamanya aku akan merasa bersalah. Aku lelah Ayah, aku lelah terus menerus menunggu. Berharap Ayah datang dan mengejutkanku saat aku terlelap dalam tidurku. Ayah membangunkanku, lalu mengecup keningku dan mengatakan kalau Ayah menyayangiku. Sekarang aku tidak akan menunggu Ayah lagi, karna aku tahu Ayah sudah tenang di pelukan Tuhan, iya kan Yah?.” Aku beranjak pergi dengan lintasan air mata yang masih membekas dipipi, aku tidak tega melihat Bunda berlama-lama menungguku. Sebagai salam terakhirku untuk Ayah, aku mengecup batu nisan yang bertuliskan namanya itu. Selamat tinggal Ayah.. sesekali aku akan datang dan berkunjung lagi nanti, setelah aku berhasil menghapus catatan kelam yang enggan beranjak dari memori sejak sebelas tahun silam. “Aku sayang Ayah.” Aku meninggalkan tempat itu, berharap akan kembali lagi nanti saat aku sudah bisa mengembalikan hidupku yang sempat tak karuan dulu.

“Terimakasih ya sayang.” ucap Bunda seraya mendekapku dalam pelukan hangat kasih sayangnya. “Untuk apa ??” tanyaku. “Karna kamu sudah mau berubah demi Bunda.” jawab Bunda. “Tidak Bunda, seharusnya aku sudah melakukannya sejak dulu.” kami berjalan meninggalkan makam Ayah. Setelah sebelas tahun lamanya aku terkurung dalam keegoisan, kini aku bisa kembali bebas dan melanjutkan hidupku sebagai anak yang normal. Sekarang aku menemukan kembali senyumku yang sempat hilang dulu, begitu juga dengan tawaku. Kini aku adalah aku, seorang Clara Permatasari yang berharap bisa menjadi permata untuk Bunda. Aku sayang Bunda, dan aku akan selalu ada untuk Bunda.

0 Comments:

Posting Komentar

 
Cool Grey Outer Glow Pointer