Pages

2 Feb 2012

23 Menit Membaca Pikiran

Karena kemarin aku berhasil menjawab pertanyaan dari sahabat sekaligus ‘penasihat spiritual’, maka dia memberikanku sebuah kekuatan kecil. “Nah Angel, kalau kamu bisa jawab, kukasih kekuatan membaca pikiran orang.” Ungkap Indah, yang merebahkan tubuhnya di kursi teras. “Betulan nih? Boleh. Apa pertanyaannya…?” tantangku. Indah tersenyum, dielusnya anting-anting sebesar gelang yang menggantung anggun pada kedua kupingnya. “Begini pertanyaannya…”


“Suatu hari Abu Nawas dan kawan-kawan tersesat di hutan. Dia berada pada jalan bercabang dua, yang satu menuju hutan wisata yang sedianya akan mereka kunjungi, dan jalan yang lain justru menuju hutan yang dihuni binatang buas. ‘Sebetulnya aku punya dua teman yang merupakan saudara kembar, mereka tinggal di pondok dekat sini.’ Kata salah satu teman Abu. ‘Bagus kalau begitu, mari kita bertanya pada mereka!’ ujar Abu Nawas. ‘Tidak semudah itu, karena yang satu selalu bicara bohong, dan yang satu selalu jujur. Sedangkan rupa mereka amat mirip hingga takada yang bisa membedakan. Mereka pun orang-orang aneh karena hanya akan mau menjawab satu pertanyaan.’ Lanjut kawan Abu. ‘Itu tidak masalah, lekas antarkan aku ke sana’ ujar Abu Nawas. Maka setelah sampai di pondok itu, seorang penghuni muncul. ‘Cepat katakana keperluanmu, aku sibuk. Cukup satu pertanyaan.’ Tegas pria itu. Maka Abu pun segera bertanya dengan cara berbisik, lantas dijawab pula oleh pria itu dengan bisikan. Setelah berterima kasih, Abu pun pamit. ‘Kita ke kiri.’ Ujar Abu mantap.

“Nah Angel, kira-kira apa yang ditanyakan Abu Nawas kepada pria itu, sehingga dengan yakin ia menunjuk jalan ke kiri?” Tanya Indah padaku, dia tersenyum mengejek. Aku berpikir sejenak sambil mengelus rambut panjangku, sementara Indah meneguk the hangat. “Kalau bisa kujawab, benar akan diberi ilmu?” tanyaku. Buru-buru diletakkannya cangkir itu ke atas meja. “Haha, kamu ‘kan telat mikir biasanya. Oke, kuberi ilmu membaca pikiran. Suer!” sahutnya. Lalu kucoba merangkai kata untuk jawab tantangannya.

“Yang ditanyakan oleh Abu Nawas adalah: apa yang akan dijawab oleh saudaramu jika aku bertanya arah yang benar menuju hutan wisata?” Jawabku mantap. Indah sedikit mengangkat alis. “Alasannya?” tanyanya lagi. “Iya, karena orang itu menjawab ke kanan. Apabila yang ditanya oleh Abu Nawas itu adalah si jujur, ia akan menjawab kanan karena tahu saudaranya pasti akan berbohong. Namun apabila ternyata yang ditemui adalah si pembohong, ia pun akan menjawab kanan. Walaupun saudaranya menunjukkan kiri, pasti ia akan berbohong.” Lanjutku. Indah bertepuk tangan. “Hebat… ternyata kamu juga udah baca bukunya ya?” ujarnya. “Lho kok tahu aku pernah baca cerita itu?” tanyaku penasaran. Sambil mengeluarkan sesuatu dari tas ungunya, dia menjawab, “Mana mungkin aku memberimu ilmu baca pikiran kalau aku sendiri tidak bisa. Hehe. Ini untukmu”

Dijulurkannya sebuah botol kecil berisi air tawar. Setelah minum ini, kamu bisa baca pikiran orang di sekitarmu. Tapi hanya sekitar 20 menit atau lebih sedikit.” Ujarnya. Kutatap botol seukuran lipstik itu. “Apa rasanya? Serius? Musyrik gak nih?” kuberondong dia dengan pertanyaan. “Seperti air putih. Itu ramuan, bukan berhala. Aman deh…” tutupnya.

*********



Maka sore ini aku duduk di bangku tengah mall. Hilir mudik orang-orang berlalu lalang, dipandu musik yang mengalun tenang. Banyak pula muda-mudi yang berjalan berpasang-pasangan. Memang mereka yang aku cari, aku ingin tahu pikiran mereka akan sebuah hubungan yang dinamakan pacaran. Iseng? Ya memang ini iseng, tapi setidaknya aku ingin mempelajari dan membandingkan jalan pikiran anak muda zaman sekarang. Hebat ‘kan?

Kubuka tutup botolnya yang dari gabus, sedikit kubaui, “Biasa saja…” lalu kuteguk cepat-cepat. “Hoek…” kututup mulutku dengan tangan. Berhasil juga kutelan. Kemudian aku membetulkan lipstik, saat efeknya mulai terasa. Perlahan-lahan kulihat di atas kepala para remaja muda yang sedang berpacaran itu mengembang semacam balon berwarna merah. Tentu hanya aku yang bisa melihat balon itu semakin mengembang dan membentuk hati, melayang-layang mengikuti gerakan kepala orangnya. Kupandang lekat-lekat dua balon, dan salah satu balon itu pun meletus pelan, disertai sedikit hembusan angin yang rupa-rupanya inilah yang akan kubaca.

“Aduh… malu juga sih jalan sama dia. Udah gendut, jelek pula. Tapi ada enaknya, pacarku royal. Untung dia anak orang kaya. Wah bagus tuh tas, ah minta ah… pasti si sayang mau beliin.” Pesan itu samar-samar mengiang di otakku, sepertinya itu adalah buah pikir si gadis muda cantik itu.

Lalu kutatap balon satunya yang belum pecah. Kufokuskan perhatian pada benda abstrak yang mengapung di atas ubun-ubun lelaki yang memang gendut dan jelek itu. DOR! Meletus dengan keras, dan terbentuklah suatu gambaran yang menjulang sampai atas sana. “Maria seksi banget nih hari ini… gampang dirayu pula. Dibeliin barang mahal dikit, langsung mau diapa-apain. Hihihihihi, pokoknya enak deh malam ini.”

Panas, rasanya ada rasa panas saat kubaca pikiran lelaki itu. Apakah pikirannya dipenuhi hawa nafsu atau entah apa, yang pasti ada tekanan yang berbeda dibanding gadis tadi. Kutarik nafas panjang sambil geleng-geleng, mencoba bersihkan segala pesan tentang dua orang itu. Hawa yang dihembuskan pasangan itu pun memudar seperti asap rokok.

Kualihkan pandangan pada sepasang remaja lain. Cewek dan cowok berseagam putih abu, sepertinya mereka baru pulang sekolah. Kupandangi sekuat tenaga balon di atas kepala si cowok, dan balon itu bereaksi seperti bergoyang ke arahku seperti paku ditarik magnet, namun kemudian pecah dan mengeluarkan gas berwarna hijau yang lagi-lagi hanya aku yang melihat.

“Aduh gimana ya… baru kemarin jadian. Tapi udah gak kuat nih, Sella mau gak yah aku ajak gituan… kayaknya harus dikasih teh botol campur tetes mata nih.”

Ternohoklah aku. Anak sekecil itu? Pikirannya? Seram sekali anak-anak masa kini. Kubetot pikiran si cewek yang tampak masih sungkan saat lengan si cowok merambati bahu dan mengelus rambutnya. “Semoga gak ada temennya Irfan di sini. Bisa gawat kalau aku ketahuan selingkuh… Ah tapi biar deh, Irfan juga pernah selingkuh, jadi apa salahnya kalau aku juga punya cowok dua?” dan pesan itu pun terhenti. Sepertinya memang yang sampai padaku hanya inti dari perasaan seseorang terhadap pacarnya. Sejenak aku menahan nafas. “Apa tidak ada yang pikirannya bersih?” gerutuku sambil mengancingkan sampai atas cardigan unguku.

“Aha…!” aku berujar senang saat mendapati sepasang muda yang dari tampilannya sepertinya adalah aktifis masjid. Si pria berkameja, bercelana katun, berjanggut, pokoknya iya banget lah. Si cewek berjilbab rapi yang benar-benar jilbab, bukan berjilbab tapi masih berpakaian ngetat. Mereka tampak canggung, tapi cocok, keduanya membawa kantong plastik penuh buku, tentu mereka habis dari toko buku, pikirku.

Aku mulai terbiasa dan fasih mencomot pikiran orang. Tanpa kusuruh, balon si cewek mengembang dan terus mengembang, lalu meletus dengan bunyi renyah, pluppp! Gas abu-abu merambati udara menghampiriku, dengan sigap kutangkap sinyal dan mencoba cepat menerjemahkan pesan-pesan yang sulit itu, seperti Speedbit video accelerator mempercepat tampilan video Youtube. Seolah tidak tahu otaknya sedang kugali, cewek itu tetap berjalan dengan anggun gemulai.

“iri deh lihat remaja lain jalannya gandengan. Pengen… tapi apa kata dunia…? Kami ‘kan ta’aruf, bukan pacaran. Nanti kalau terlalu lengket, dipelesetin orang-orang jadi ta’amor.”

“Hehehehehe…” aku tertawa cengengesan di tengah orang banyak, tidak ada yang peduli. Sepasang muda itu sudah menjauh, tapi pikiran mereka sudah kugenggam. Dengan mudah kubelah balon si cowok, sedikit ada rasa alot tapi akhirnya isinya lumer juga.

“Habis ini ke mana ya…? Gak enak juga jalan kaku begini. Boleh gak ya kugenggam tangan Siti…? Ah boleh deh, ‘kan tidak menimbulkan syahwat.” Selebat buah pikir cowok berabut klimis itu. Eh… dari kejauhan bisa kulihat, si cowok meraih tangan ‘pacarnya’, si cewek pun menyambut dengan baik. “Selamat berpacaran…” gumamku.

“Wah delapan menit lagi habis nih khasiatnya, ini terakhir deh…” ujarku sambil mengunci sasaran pada sepasang kekasih yang usianya sekitaran 25an. Kupilih mereka karena rasanya agak timpang, ceweknya cantik putih, sedangkan cowoknya relatif culun. Kuduga skemanya seperti yang tadi, pasti cowoknya banyak duit. Tapi hati orang siapa tahu, maka coba kutarik balon cowoknya, hingga isinya yang berupa gas perak berhembus kencang ke arahku seperti tiupan hair drier.

“Aku mau melamar Claudia malam ini juga! Tapi ada yang masih mengganjal. Seharusnya saat hubungan ini mau kubawa serius, kutanya dulu apakah dia masih perawan. Aku takut… aku sudah menjaga keperjakaanku hanya untuk istri… tapi aku tidak tahu apakah dia juga begitu… akh, aku harus bagaimana…”

“Ow… ini sih jenjang lanjut, susah juga ya… Lihat apa yang ada di otak si cewek ah.” Ujarku seraya meniup-niup hawa si cowok agar lekas enyah, lantas kuhirup gas si cewek yang anehnya berwarna hitam, lain dari pada yang lain. Seeet… gas hitam itu meliuk-liuk seperti ular, berkelit di antara tubuh-tubuh manusia yang hilir-mudik, kemudian gas itu merasuk ke kepalaku.

Kali ini sungguh berbeda, benar-benar dilengkapi gambaran yang amat nyata. Cewek itu… di ranjang… dia bersetubuh dengan… satu… dua… empat lelaki… penuh keringat dan irama yang bergelora… raungan… lenguhan… lalu penglihatan itu melebur jadi hitam, sunyi… “Kemarin kulihat Mas bayu di toko perhiasan. Aku juga lihat cincin di balik saku celananya. Dan aku yakin dia hendak melamarku. Aku sayang dia… dia pria baik… tapi apa dia mau menerimaku andai aku jujur… aku takut kehilangan dia… hanya dia yang benar-benar mencintaiku… aku juga tidak mau orang lain, hanya dia yang aku sayang… tapi dia terlalu baik untukku… Apa yang bisa kulakukan untuk menebus kesalahanku di masa lalu…” suara cewek itu terngiang-ngiang di telingaku, kusimak dengan seksama, ada lanjutannya.

“Oh, kalau tidak salah ada operasi untuk mengembalikan selaput dara menjadi utuh kembali. Ya, aku pernah baca di internet. Biar saja Mas Bayu menyangka aku perawan, toh kelak pun aku miliknya seutuhnya. Aku pun sudah berjanji untuk hanya bercinta dengan suamiku. Ya! Akan kulakukan!” lanjut suaranya, dan perlahan-lahan menghilang.


“Apa khasiatnya habis?” gumamku, kuperhatikan jam tangan merah yang melingakari tangan kiriku. “Ya, memang sudah dua puluh menit. Huft…” gumamku menarik nafas panjang. Kuperhatika sekeliling, masih banyak pasangan muda yang belum kuamati, tapi sebagian besar mungkin seperti itu, memandang rendah arti cinta yang sebenarnya, ketulusan pun bagai sampah. “Uh… serem deh…” aku mengacak-acak rambut panjangku hingga berantakan. Lalu seseorang mencengkeram kedua tanganku yang masih berusaha mengawut-awut rambut.

“Aduh Angel, maaf ya abang lama, WCnya penuh. Sampai kesel begitu…” ujar Bang Doni dengan nada bersalah. Kutatap mata pacarku itu. “Ah, bukan kesel sama abang kok, kepala Angel emang agak gatal…” kataku sambil berusaha merapikan rambut. “Oh… ya udah, ayo kita makan.” Bang Doni mengulurkan tangannya, kusambut dengan perasaan sedikit ragu. “Abang bener sayang kan sama Angel…?” tanyaku.

Dia sedikit kaget, tapi langsung tersenyum manis. Kulihat di atas kepalanya mengembang balon yang dengan cepat membesar, lalu meletus. “Aku sayang sama kamu, Angel. Seperti lelaki sejati yang menyayangi gadis pujaannya. Cinta yang tulus dan bukan karena nafsu. Karena kamu satu-satunya gadis yang kucintai, dan akan terus kujaga sampai tiba saatnya kelak.” Ujar sebuah suara, entah keluar dari mulut Bang Doni atau dari balon itu.

Aku tidak peduli, aku pun tersenyum padanya, kugenggam erat tangannya. “Bang Doni lucu deh…” gumamku gemas. “Ih… kenapa…? Dasar cewek aneh. Orang abang gak bilang apa-apa…” ujarnya heran, justru kupegang tangannya makin erat, terasa hangat saat kami berjalan bersama. Lalu sebuah suara terngiang-ngiang di pikiranku.

“Angel, udah ya, Habis nih khasiatnya. Tadi kukasih bonus tiga menit. Hehe. Lain kali kalau mau ramuan lagi, bayar.” Tutur suara yang tidak salah lagi adalah Indah. Aku tak hirau, kupercepat langkah sambil terus kutarik tangan Bang doni. “Aku sayang abang, karena abang berbeda dari anak muda lain.” Ujarku ceria. Wajahnya makin heran saja. “Kita jalan berdua di mall begini seperti anak muda saja, ya.” Gumamnya datar. Langsung saja kujawab, “Ye… kita ‘kan memang masih muda, tapi kita memang harus menjadi anak muda yang bertanggung jawab.” Ujarku mantap, Bang Doni tertawa sampai batuk-batuk.

“Sudah, sudah, sudah sore, kita pulang. Tidak bagus anak gadis main sampai malam.” Tutupnya.

0 Comments:

Posting Komentar

 
Cool Grey Outer Glow Pointer