Pages

24 Feb 2012

Akhir Harapanku

Matahari tepat di atas kepalaku, sinarnya seolah ingin memanggang semua yang berada di bawahnya. Terdengar deburan ombak yang bekejar-kejaran kemudian membentur dinding karang. Angin berhembus dengan nafasnya yang lembut, sangat menyejukkan, sedikit mengusir sengatan matahari. Aku berdiri di atas buih-buih pasir putih, memandang riaknya air yang sangat luas namun seperti ada jurang di ujung sana. Sebersit kenangan itu terlihat kembali di benakku, tentang aku dan dia. Hhhh. . .mengapa kenangan itu hadir lagi, padahal sudah lama, yah. . .sangat lama. Entah dimana dia saat ini.


“Apa yang sedang kau lakukan disini?”
“Oh. . .” aku terkejut, aku menoleh, ternyata sepupu perempuanku.
“Aku hanya sedang menikmati terik matahari” Jawabku.
“Aneh. . .kau bisa-bisanya menikmati panas seperti ini” dia tersenyum sinis.
“Hmmm. . .orang barat sana berbondong-bondong pergi ke negri ini untuk berjemur di bawah terik matahari, berbaring di atas sehelai kain dengan hanya memakai bikini, apa itu tak lebih aneh?”
“Mereka berebada denganmu, mereka ingin sedikit menghitamkan kulit mereka, sedangkan kau, apa yang ingin kau hitamkan, kulitmu sudah gelap”
“Apa yang mereka inginkan dari kulit gelap sebenarnya?”
“Ah. . .hanya permainan budaya saja”
“Budaya apa?”
“Budaya pemikiran, sudahlah tak usah kau banyak bertanya, makanan sudah siap, mari makan siang!”

Aku pun kembali ke rumah, sebuah rumah peristirahatan keluargaku, rumah itu hanya satu, tak ada rumah lagi yang tampak di dekat rumah itu. Memang tepat untuk beristirahat, menghilangkan beban pikiran. Tempatnya sangat tenang, jauh dari keramaian. Aku hanya ingin mengisi weekend dengan beristirahat, kuliahku hanya sampai jumat. Aku kuliah semester dua, banyak sekali tugas akhir-akhir ini karena minggu-minggu menuju ujian. Aku hanya ingin menenangkan pikiranku.

Senja pun tiba, lembayung menghiasi langit, cahaya orangenya membuat terasa sangat sejuk. Suhu udara terasa agak turun, sehingga aku melingkarkan tanganku di perutku. Lagi-lagi ku berdiri termenung, berdiri di depan teras kamarku yang berada di lantai dua, aku memandang ke arah riak air laut, laut itu seperti menghipnotisku hingga aku tak bosan-bosan memandanginya yang tak pernah berhenti beriak. Seberkas cahaya kuning matahari membuat kemilau bintang di permukaan air laut. Teringat lagi aku tentang dia yang dulu sempat sekejap menghiasi hidupku. Suaranya, tawanya sungguh menyihirku untuk selalu mengingatnya. Wajahnya pun sangat lugu dan hitam manis.

“Apa hanya melamun yang bisa kau lakukan di rumah ini?” Lisa, sepupuku membuatku kaget. Tak terdengar suara kedatangannya.
“Apa kau hanya bisa menggangguku saja?”
“Apa yang sebenarnya yang kau pikirkan?”
“Tak penting bagimu”


****


Saat itu waktu aku kelas 5 sekolah dasar, Ayah dan Ibuku mengajakku ke rumah peristirahatan keluarga kami yang letaknya lumayan jauh dari keramaian ibu kota. Hari itu hari sabtu, tanngal sedang merah, merayakan hari penting bagi umat Tionghoa. Rumah itu baru selesai dibangun 6 bulan lalu. Walaupun berada di pinggir pantai, udara di dalam rumah itu terasa sangat sejuk, mungkin karena warna cat dan arsitekturnya yang memengaruhi uadara di dalam rumah itu. Sekitar rumah itu, disebelah barat kira-kira 200 m ada perkampungan kecil. Entah seperti apa perkempungan itu, aku tak pernah ke sana.

Setelah kami selesai santap siang, ada seorang mengetuk pintu. Ayahku kemudian membukanya. Berdiri seorang laki-laki berperawakan tinggi, kumis seperti pak Raden, memakai kemeja kotak-kotak warna hijau, dan celana bahan warna biru tua. Di sebelah kanannya ada seorang wanita kecil yang seumuran denganku memegangi lengan laki-laki itu. Ayahku mempersilakan mereka masuk dan duduk. Ia adalah seorang ketua RT di perkampungan itu, ia datang kemari karena mendengar keluarga kami sedang liburan, juga ingin bersilaturahmi. Anak kecil yang bersamanya bernama Neneng, anak laki-laki itu. Neneng terus saja memegangi lengan ayahnya, ia menyembukan sebagian wajahnya di belakang lengan ayahnya. Ia terlihat pemalu.

“Dira. . .ajaklah Neneng bermain di luar!” ayahku menyuruhku. Aku tahu ayah ingin aku akrab dengan Neneng. Aku menghampiri Neneng, “Hai, kita main di luar yuk!” ajakku.
“Ummm. . .” ia ragu, ia melirik ayahnya.
“Pergilah bermain” ayahnya tahu bahwa anaknya malu, ia sedikit tersenyum. Kemudian pandangannya berbalik ke arahku, ia pun tersenyum. “Yuk!” suaranya sangat kecil tapi lembut.
Kita menuju pantai, saat itu matahari tak terlihat karena awan menutupinya. Udara pun tak terasa panas di kulitku. Kita berdua bermain kejar-kejaran, dengan cepatnya kita akrab, kiat bersenda gurau, melakukan lelucon anak kecil. Kita berdua duduk karena sangat lelah setelah lari-larian.
“Neneng kelas berapa?”
“eh. . yah. . .” ia agak sedikit kaget
“Neneng kelas 4, Dira kelas berapa?”
“Aku kelas 5”
“Owh. . .pasti enak yah sekolah di kota, banyak buku yang bisa di baca”
“Emangnya di sekolah Neneng tidak ada buku yang bisa di baca?”
“Ada. . .tapi ga banyak, Neneng sudah baca semuanya berkali-kali”
“Neneng mau suatu hari bisa sekolah di kota, sekolahnya bagus dan banyak buku yang bisa Neneng baca. Tapi. . .sekolah di kota pasti sangat mahal, di sini saja biayanya sudah memberatkan ayah Neneng”.

Begitu besar semangat yang ada pada Neneng, ia begitu ingin mendapatkan pendidikan yang lebih. Tapi semangatnya pudar ketika berbicara soal biaya. Biaya adalah kendala yang menghambat dirinya untuk maju. Aku sangat kagum sekali dengan Neneng. Aku pun iri, aku hanya seorang anak bandel yang selalu malas untuk pergi ke sekolah atau belajar. Dia lah yang telah membuatku menjadi anak yang seharusnya belajar, membuatku sadar akan pentingnya pendidikan.

Pertemuanku dengannya hanya satu kali itu saja karena keesokan harinya kita pulang. Ingin ku menemui Neneng, namun aku tak tahu ia berada di mana. Setelah saat itu aku tak pernah lagi bertemu dengannya, sejak pertama kali aku kembali ke rumah itu, aku dengar bahwa Neneng dan keluarganya sudah pindah, entah kemana.

Pertemuan itu sungguh berarti bagiku, sekejap namun menghasilkan sebuah intan permata di dalam dinding hatiku. Inginku mengulang hari itu. Hari yang tak pernah bisa aku lupakan. Entah mengapa aku selalu ingin mengulang hari itu, kejadian hari itu begitu menghipnotisku, apa yang sebenarnya yang terjadi? Aku tak tahu, aku benar-benar tak tahu.
Aku sangat lelah sepanjang perjalanan, badanku terasa lemas padahal aku tak habis berlari. Untung sepupuku yang menyetir mobil, sehingga aku bisa tak harus berkonsentrasi memegang setir, menginjak pedal-pedal, dan memerhatikan jalan. Mataku tiba-tiba sangat mengantuk, udara menguap dari mulutku. Tak sadar aku pun mulai tertidur, tertidur seperti ada yang mengipnotisku.

****

Aku sedang berdiri di pinggir jalan, aku melihat banyak mobil lalu lalang,banyak para pejalan kaki di yang mondar-mandir di hadapanku. Tapi aku tak memerhatikan hal itu, entah apa yang aku lihat, aku tak bisa menggerakkan tatapanku. Tatapanku hanya tertuju pada seorang anak perempuan, dia seorang anak kecil memakai gaun warna putih. Dia tersenyum kepadaku, sangat manis senyum itu seperti aku pernah melihatnya. Yah. . .aku pernah melihatnya, dia. . .dia Neneng. Apa yang ia lakukan di seberang jalan itu. perlahan-lahan ia melangkah, melangkah ke arahku. Aku pun tersenyum, ia menghampiriku. Namun tak lama aku bisa menikmati senyumku, ketika Neneng setengah jalan, tepat di tengah jalan. Sebuah mobil melaju kencang, menabraknya.

“DIRAAAAA. . .” sebuah suara mengagetkanku, aku seketika membuka mata.
“Hey. . .sadar kau!” sepupuku menggoyang-goyangkan pundakku.
“Kau mimpi buruk? Siapa Neneng?” Tanya sepupuku.
Aku pun masih tak bisa memokuskan pikiranku, aku masih terkejut dengan kejadian yang ada di mimpiku. “Oh. . .bukan, bukan siapa-siapa” jawabku dengan tergagap.
“Kau tidak ingin cerita padaku? Kau selalu melamun, apa kau sedang memikirkan Neneng?”
“Tidak. . .tidak ada yang perlu aku ceritakan”
Sepupuku menatapku, apa yang sebenranya terjadi padaku. “Perhatikan jalan!” suruhku.
Pandangannya menjauh dari wajahku dan memerhatikan jalan. Tak lama kita pun sampai di rumah, kami sampai pada malam hari. Aku begitu lemas, aku membawa barang-barangku. Ternyata ada ayah dan ibuku di ruang tamu.
“Dira, Lisa. . .kemari Nak!” ajak ibuku.
Kami pun menghampiri ayah dan ibuku dan duduk di sofa depan mereka. Aku begitu lelah, aku ingin cepat-cepat tidur. Tapi aku tak enak bila menolak ajakan ibuku.
“Bagaimana liburannya?” Tanya ibuku.
“Lumayan tante, tapi entah dengan Dira, yang dialakukan hanya melamun saja. Melamun tentang Neneng tante” aku pun terkaget dengan jawaban Lisa, aku tak menyangka dia menjawab seperti itu. aku menatapnya dengan pandangan kesal.
“Neneng? Neneng siapa Dira?” ibuku penasaran. Aku pun terpaksa memberi tahu bahwa aku selalu memikirkan Neneng ketika di Rumah peristirahatan. “Neneng yang dulu pernah diajak oleh Pak RT kampung sebelah rumah peristirahatan kita”.
“Ooooh. . .Neneng anaknya Pak RT” ayahku tiba-tiba menyambar. “Ayah lupa menceritakan sesuatu terhadapmu”.
“Cerita apa yah?” aku penasaran.


“Sebenarnya sudah lama ayah mendengar kabar ini, kabar tentang Neneng yang kaumaksud. Ayah mendengar kabar bahwa Neneng sudah tiada”

0 Comments:

Posting Komentar

 
Cool Grey Outer Glow Pointer