Pages

24 Feb 2012

Dua Cerita Tentang Kesedihan

Badut itu menangis saat pertunjukan berlangsung. Anak-anak yang melihatnya terheran-heran, mengapa badut yang lucu itu menangis? Biasanya badut berwajah ceria dengan hidung merah bulat, rambut keriting berwarna-warni, bertubuh gendut dan berpakaian besar. Ia hadir di saat pesta ulang tahun atau pun pesta sunat agar si sunat tidak merasa kesakitan, dengan memeriahkan atraksi-atraksinya yang aneh namun selalu mengundang tawa atas kekonyolan tingkahnya.


Hari ini Rahma berulang tahun yang ke-4. Seluruh anak-anak kampung diundang untuk memeriahkan pesta ulang tahunnya. Tentunya sebuah pesta ulang tahun bagi seorang anak kecil tidak akan meriah tanpa adanya acara tiup lilin, potong kue, pemberian kado, dan pertunjukan badut. Anak-anak juga harus dikasih hiburan, jangan hanya disuapi oleh hiburan di televisi dan PS saja. Bisa-bisa mereka maniak televisi PS. Acara orang dewasa bisa saja ditonton oleh mereka. Waktu ibadah mereka hiraukan gara-gara keranjingan televisi dan PS.

“Papa, Rahma ingin ada badut di ulang taun Rahma nanti,” rengek Rahma pada ayahnya beberapa hari sebelum hari ulang tahunnya tiba.

Dan ayahnya yang selalu memanjakan Rahma pun menuruti keinginan anaknya yang manis itu, meski gaji bulan depan harus di-kasbon untuk biaya acara ulang tahun tersebut.

Permintaan Rahma yang manis itu dikabulkan. Seorang badut diminta untuk beratraksi di depan anak-anak kampung yang masih kecil-kecil itu. Namun, badut yang di dalam benak sebagian anak-anak selalu lucu dan konyol kini terlihat menangis dan penuh dengan kesedihan. Ia muncul ketika MC memanggil namanya yang bergelar “Pedro si Konyol” itu untuk tampil ke atas panggung. Beberapa saat ia muncul anak-anak sudah berteriak, “Pedro! Pedro! Pedro si Konyol!!” sambil tertawa dan saling bersahutan. Mereka menanti-nanti atraksi apakah yang akan dilakukan oleh si Pedro tersebut. Namun, penantian tersebut berujung pada pertunjukkan yang sangat menyedihkan, dan begitu menyedihkan. Pedro si Konyol, muncul ke atas panggung dengan wajah yang penuh dengan linangan air mata, bermata bengkak dan menatap kosong pada setiap orang sambil bergumam, “Ibu…ibu…ibu…”


***

Nun jauh dari pesta ulang tahun Rahma, seorang ibu tua yang sedang sakit keras berjuang mati-matian menghadapi tiga orang tinggi besar yang akan menyita gubuk reyotnya. Tiga orang tinggi besar tersebut diperintah oleh seorang juragan kerbau yang selalu dihutangi ibu tua tersebut. Karena sudah tiga bulan tidak mampu membayar hutangnya yang kian hari makin melambung tinggi bunganya. Ibu tua itu seorang pedagang sapu lidi. Di usia senjanya kini ia sudah tidak mampu lagi berjalan puluhan kilometer untuk menjajakan dagangannya. Terlebih setelah tiga tahun yang lalu ia terkena katarak dan TBC yang makin lama makin menggerogoti tubuhnya. Untuk bertahan hidup terpaksa ia hidup dari hutang dan belas kasihan tetangganya. Sebetulnya ia punya anak laki-laki semata wayang, namun anaknya tersebut sudah setahun yang lalu pergi ke kota besar untuk mencari uang. Sudah setahun anak tersebut belum kembali atau mungkin tidak akan kembali.

“Ibu tua! Mana anakmu si Waluyo itu? Bukannya membantu ibunya malah luntang lantung gak tau kemana!” bentak si orang tinggi besar 1.
“Malu kali punya ibu banyak utang!” kata si orang tinggi besar 2.
“Udah lupain aja tu anaknya! Sikat aja nih si ibunya!” kata si orang tinggi besar 3.
“Ampun, tuan-tuan ampun! Jangan diambil harta saya, beri saya waktu! Saya yakin Waluyo pulang ke sini dan membayar utang-utang saya…” rintih ibu tua itu lemah.
Ketiga orang tinggi besar itu tertawa terbahak-bahak seakan perkataan ibu tua tersebut adalah sebuah lelucon dari seorang badut yang harus ditertawakan.
“Hahaha! Ibu tua! Kau jadi badut saja, melucu di depan kami!” kata si orang tinggi besar 2.
“Sekalian atraksi jalan di genteng, biar cepet mati bu!” kata si orang tinggi besar 1 sambil disusul tawa ejekan keduanya.
Si ibu terdiam sambil bersujud di depan kaki mereka.
“Udah, banyak bacot kau bu! Jon, Mat, sikat aja sekarang ntar keburu sore!” kata si orang tinggi besar 1. Ibu tua tersebut berusaha menghalangi laju mereka, namun apa daya ia sedang sakit keras dan sudah tua. Dengan gampang tubuh rentan itu disepak oleh kaki si orang tinggi besar 1 hingga terpental beberapa meter. Ia terkapar dengan nafas penghabisan dan darah yang takhenti-henti keluar dari mulutnya.

***

“Pedro, atraksi dong!” kata Rahma ketika badut tersebut diam saja di panggung sambil takhenti-hentinya menangis.
“Iya atraksi! Atraksi!” sahut beberapa anak yang lain.
Pedro si Konyol diam saja. Airmata takhenti-hentinya keluar. Ia melihat anak-anak di depannya sudah ribut takkeruan. Airmatanya mengalir di pipi melunturkan make up badutnya sehingga anak-anak yang melihatnya penuh dengan nada ejekan.
“Pedro jelek! Jelek kayak monyet!”
“Monyet jelek! Hidungnya kayak kotoran sapi!”
“Bukan sapi, tapi kuda!”
“Aku bilang sapi!”
“Kuda!”
“Sapi!”
“Ayah kamu tuh sapi!”
“Ibu kamu kuda!”

Taklama terlihat dua orang anak bertengkar hanya karena masalah hidung tersebut. Acara ulang tahun menjadi kacau. Anak-anak yang lain melempari Pedro si Konyol dengan bermacam-macam benda yang ada. Saos, sandal, cream kue, bahkan ada yang meludahinya. Busyet! Anak-anak sekarang sering bertindak di luar kodratnya. Dan Pedro si Konyol menerima semua ulah tersebut tanpa balasan. Air matanya tidak pernah berhenti dan yang ia ucapkan hanya “ibu…ibu…ibu…!” Mungkin anak-anak bengal itu taktahu bahwa menangis juga adalah salah satu dari pertunjukan seorang badut.

***

“Waluyo anakku, di mana kamu nak?” rintih ibu tua tersebut sambil menahan sakit. Sebelah matanya yang rabun melihat tiga orang tinggi besar itu membawa barang-barang yang ada di rumahnya. Kursi reyot yang penuh tambalan, kasur bulukan, baju-bajunya yang compang-camping, radio transistor kesayangan almarhum suaminya, bahkan ketel-ketel dan panic-panci yang hitam pun dikeluarkannya. Semua barang-barang itu dikumpulkan di depan si ibu tua.

“Hah! Ibu tua! Apa saja kerjamu selama ini? Hidup sudah puluhan taun Cuma bisa ngumpulin barang rusak begini?” bentak si orang tinggi besar 1.
“Ini sih gak ada yang laku dijual. Radio zaman Jepang aja masih disimpan,” tambah si orang tinggi besar 2.
“Namanya juga badut Jon. Badut kan unik jadi perabotannya pun unik-unik,” kata si orang tinggi besar 3.
“Bukan unik bego! Si badut ini sih kere!”
“Iya, badut kan emang kere!”
Ibu tua tersebut menangis dalam sakitnya. Ia ingat almarhum suami dan anak semata wayangnya.
“Seharusnya waktu suaminya mati, ikutan mati aja biar gak kayak gini bu!”
“Bentar lagi juga mati Jon, kalau mati kita kena.”
“Akh, kalau dia mati kita tinggalin aja toh di sini gak ada orang lewat.”
“Akur!” kata si orang tinggi besar 2 dan 3.

Ibu tua itu hanya bisa terdiam dan menangis. Pikirannya terkenang akan suaminya yang mati sepuluh tahun yang lalu karena tertabrak kereta listrik, juga Waluyo yang kini entah di mana rimbanya. Ia merasakan bahwa ajal semakin dekat.

***

Suasana di rumah Rahma semakin tidak terkendali. Anak-anak bengal berlarian ke sana kemari sambil melempari badut tersebut. Ada beberapa anak yang sengaja keluar rumah untuk mengambil batu dan kembali ke dalam untuk melempar batu tersebut ke arah Pedro si Konyol. Satu batu mengenai kepalanya. Darah segar mengucur berbalapan dengan laju air mata. Beberapa anak pun mengikuti. Melihat banyak anak yang makin hebat melempari dirinya dan orang-orang tua pun seakan tidak acuh ketika dirinya dilempari akhirnya ia bangkit. Diraihnya sebilah pisau untuk memotong kue dan berlari mendekati anak-anak yang kabur ketakutan. Ia berhasil menangkap salah satu anak yang tadi sempat melemparinya dengan batu lalu kemudian menusuknya. Anak polos tersebut mati sambil mengeluarkan teriakan yang mengerikan.

Pedro si Konyol sudah gelap mata. Ia berlari membabi buta mengejar anak-anak polos tersebut namun tingkahnya itu berhasil dilumpuhkan oleh beberapa orang dewasa yang marah atas tindakan penusukan tersebut. Ia ditangkap oleh beberapa orang yang masing-masing memaki dirinya dan meneriaki pembunuh. Ia diseret ke luar rumah, ke luar pesat pertunjukan berdarah tersebut sambil takhenti-hentinya pukulan dan tendangan diarahkan padanya. Ia dibawa ke sebuah lapangan dan puluhan bahkan ratusan orang berdiri mengelilinginya. Tiba-tiba pikirannya kembali teringat akan ibunya yang sudah tua, dan ayahnya yang sudah lama tiada. Kenangan-kenangan tersebut kembali berganti dengan pikiran yang mungkin selama ini belum pernah, tidak pernah, atau barangkali tidak akan pernah mau dipikirkan olehnya.


***

“Mana Waluyo, biarkan aku bertemu dengannya,” teriak ibu tua tersebut di depan kamar mayat. Setelah pulih dari luka yang ditimbulkan akibat ulah tiga orang tinggi besar tempo hari, nyawanya masih bisa diselamatkan. Beruntung ada orang yang melihatnya disiksa dan akhirnya ia menyuruh warga lainnya untuk bersama-sama menolong ibu tua tersebut. Ia sendiri pun takpercaya bahwa ia masih diberi kehidupan. Makanya, begitu mendengar kabar bahwa Waluyo sekarang berada di rumah sakit, ia langsung datang menemuinya. Berbekal baju yang melekat di kulitnya yang keriput, uang yang alakadarnya, ia ingin membawa Waluyo pulang.

“Waluyo, malang nian nasibmu. Ayo kita pulang nak. Aku sudah lama tidak melihatmu dan ingin sekali berada di dekatmu lagi nak. Pulanglah, ibu kangen.”

Ibu tua itu memeluk Waluyo, anaknya, dengan perasaan haru. Tuhan memang mempunyai rencana dan rahasia. Ia takhabis pikir, mengapa justru Waluyolah yang lebih dahulu meninggal dikeroyok orang banyak, bukan dirinya.

0 Comments:

Posting Komentar

 
Cool Grey Outer Glow Pointer