Seperti sepatu kiri yang sedang mencari si sepatu kanan.
Biasanya, pengunjung taman ini bisa dihitung dengan menggunakan seluruh jari yang ada di tubuh manusia. Dan kebanyakan dari mereka adalah sepasang sneakers yang sedang melingkarkan dan memainkan tali sepatunya di sepasang hak tinggi.Tapi sekarang, hampir di setiap mata angin tempat mataku berhenti untuk menatap sebentar, aku selalu menemukan beberapa pasang sepatu berbagai jenis. Entah itu sepasang pantofel dan hak tinggi yang sedang bergandengan tangan. Atau sepasang sendal wanita yang sedang menggendong sepatu bayi dan merundingkan sesuatu dengan sepasang sendal pria di sampingnya. Bahkan pantai di taman ini pun dipenuhi dengan sepasang kaki telanjang berbagai ukuran dan umur.
Aku mengangkat tangan kananku. "4:15" adalah angka yang terpampang di jam digital yang melilit pergelangannya. Aku pun menghela nafas. Cukup sudah, umpatku dalam hati, seraya sneakersku mulai melangkah dan kedua tanganku mulai sibuk dengan kabel headset yang terlilit.
Beberapa puluh langkah kemudian, mataku terpaku. Menatap satu objek yang tidak terlalu jauh di depan.
Objek itu memakai hak tinggi. Warnanya hitam, kontras dengan warna kulit kakinya yang putih. Rok panjangnya adalah tipe rok yang dengan mudahnya akan tertiup angin yang cukup deras, dan ia berwarna biru langit. Sweater biru lautnya membingkai tangan dan bahunya dengan pas, tidak terlalu ketat, tidak juga longgar. Walaupun hanya melihat sekilas, tapi aku yakin dia sedang memakai kemeja putih. Kain kerudungnya melambai-melambai ke arahku, seakan mengundangku untuk bertanya siapa gerangan namanya. Sedangkan satu tangannya sibuk menahan kain kerudungnya, mencoba menghentikan lambaian itu.
Sedetik kemudian, aku baru menyadari, bahwa kakiku telah berhenti melangkah.
Aku pun menarik nafas yang dalam.
.
.
.
.
"Boleh tahu gak, ini jam berapa?" Aku harap suaraku terdengar natural.
Dia menengok, dan hanya menatapku. Lalu, dia menyipitkan matanya. Beberapa detik kemudian, "Kalau kamu pikir saya akan tertipu sama trik murahan seperti itu dan akhirnya memberikanmu nama dan nomor hp saya, lebih baik kamu berbalik sekarang dan cari korban lain. Thank you in advance." Sebuah senyum yang aku yakin bersifat sarkastik menjadi penutup kata-kata sinisnya itu.
Dan aku pun berbalik, melangkah menjauhinya.
Beberapa saat kemudian,
"Hai. Bolehkah aku berkenalan denganmu?," kataku, setelah menyentuh bahunya dan tersenyum.
Lagi-lagi, dia hanya menatapku, dan lagi-lagi, dia menyipitkan matanya. "Ini sarkasme ya?"
"Tentu saja tidak. Aku tulus ingin berkenalan denganmu." Aku masih tersenyum.
"Terlalu kaku...," dan perlahan, dia pun memalingkan wajahnya.
"Geez. Cerewet banget kamu ya? Pake yang mainstream, dimarahin! Sopan, diejek. Dan bahkan aku belum tau namamu!"
Tiba-tiba tangan kirinya terjulur, dan dia sudah berhadapan denganku sambil tersenyum. "Nina!"
Dahiku langsung berkerut. Kedua alisku saling mendekat. Aku pun menatap matanya, kemudian tangannya yang terjulur, kemudian ke matanya lagi. "He??"
"Namaku. Nina!" Antusiasme memenuhi kedua matanya. Seakan mereka sedang menunggu perlakuan yang sama.
"A-Alan," balasku dengan suara yang bergetar, sambil menyambut tangannya. "O iya, kenapa pake tangan--"Sebelum aku bisa menjawab, dia sudah berbalik ke arahku, menunjukkan lengan kanan sweaternya yang layu. Mataku sempat menatap cukup lama ke arah lengan itu, dan langsung memalingkan wajahku ketika akhirnya menyadarinya.
"Maaf, aku tidak tahu."
Sebuah tamparan ringan mendarat di pipi kananku beberapa saat kemudian. "Hal kedua yang saya tidak suka: Jangan. Kasihani. Saya." Sebuah kedipan sebelah mata mengikuti kata-katanya. Kata-kata yang mengalir ringan seperti anak sungai di hutan yang damai. Kata-kata yang membuatku merasa bodoh.
Kata-kata yang membuatku memutuskan untuk tinggal.
.
.
.
.
"Lan, please. Sudah 7 kali kamu membetulkan dasimu itu! Kamu terlihat sempurna!!" Suara seorang wanita bernada tinggi terdengar agak jauh di belakangku.
"Memang gampang banget kamu ngomong gitu, mengingat bukan kamu yang akan melalui ini. Plus, kamu bahkan belum punya pacar!," balasku kesal, sambil tanganku membetulkan dasi kupu-kupu yang aku pikir masih miring 0.7 derajat ke kiri.
Wanita itu, yang memakai gaun panjang berwarna biru laut, memasuki daerah pantulan cermin di depanku. Kulitnya putih kemerahan. Matanya berwarna hijau, sesuatu yang selalu aku kagumi, bahkan sampai sekarang. Maklum saja, dia asli keturunan british. Tapi sudah cukup lancar berbahasa indonesia ketika aku pertama kali bertemu dengannya di UGM. Dan 7 tahun setelah perkenalan pertama itu, kami menjadi sahabat.
Wanita itu kemudian menaruh kedua tangannya di bahuku. Sambil mengusap-usapnya, dia berkata, "You got this, Alan. Tidak ada yang perlu kamu khawatirkan. Tarik nafas yang dalam, dan katakan pada dirimu sendiri, 'aal iz well'."
Aku pun tersenyum mendengar bagian terakhirnya itu, yang juga membuatku sedikit lebih lega. "Vintage banget kayaknya ya, Trisha."
"Still, it's my favorite." Dia tersenyum, dan setelah dua kali tepukan di bahu, dia pun berbalik meninggalkanku yang masih menghadap cermin.
"Trisha?"
Seketika langkahnya terhenti sebelum tangannya menggapai pintu. "Ya?"
Aku pun berbalik, dan menatapnya lurus di mata. "Makasih ya, udah mau jadi pendampingku."
Trisha pun tersenyum, dan dengan mata yang berkaca-kaca, berkata, "it's my honor to be."
"Ulangi setelah saya, nak Alan. Saya terima nikahnya, Nina Sari Srikandi, dengan mas kawin seperangkat alat sholat dan Al-Qur'an di bayar tunai.
"Aku pun menarik nafas yang dalam. "Saya terima nikahnya, Nina Sari Srikandi, dengan mas kawin seperangkat alat sholat dan Al-Qur'an di bayar tunai."
Pak Rendi, pemilik rumah sakit tempatku mengadakan upacara ini, tersenyum. "Sah semuanya?"
"Sah!," teriak Trisha dan Rena, kakak sekaligus dokter Nina.
Aku pun memutar tubuhku ke kanan. Wanita yang kugenggam tangannya sedang tersenyum. Sebuah jalur yang berkilau di bawah penerangan kamar ini terbentuk dari masing-masing sudut matanya. Matanya sendiri pun masih berkaca-kaca. Tangan kiriku mulai bergerak, dan menghapus kedua jalur itu. "Nanti luntur."Kemudian, tubuhku pun mulai bergerak, merunduk, semakin dekat, ke arah wanita yang sedang terbaring lemah ini. Dan, tepat saat saraf-saraf di bibirku bertemu dengan dahinya, waktu seakan terhenti. Manusia-manusia lain pun seperti menghilang. Untuk sesaat, kami merasa hanya berdua. Dan untuk selamanya, aku merasa seperti manusia paling beruntung di muka bumi.
"Mohon bantuannya ya, Alan," bisiknya lemah.
"Mohon bantuannya juga ya, Nina," bisikku membalas.
.
.
.
.
Butir-butir tangisan langit masih mengetuk payung hitamku. Bahuku masih kuat, meskipun hampir sejam tangkai payung ini menyandarinya. Langkahku pun juga begitu. Masih kuat. Makin mantap.
Mungkin sudah ada 10 batu yang terlewati. Parahnya, ingatanku masih kurang baik. Walaupun tidak seburuk dulu, tapi aku masih kurang bisa mengingat tempat miliknya dengan tepat.
"Yah, bukannya ini sudah kelewatan ya?"
Aku pun berhenti. Kepalaku pun celingak celinguk ke 4 empat mata angin. "Jadi dimana dong? Ayah juga agak pelupa."
"Kayaknya di sana."
Aku pun menoleh ke kiri, dan kemudian menunduk. Sebuah tangan mungil yang terjulur dari bawah sebuah payung merah muda terlihat menunjuk ke arah jam 7. Aku pun menyipitkan mataku.
"Keliatan gak?"
Beberapa saat kemudian, mataku terpaku pada sebuah titik. Di titik itu ada sebuah batu. Dan di dekat batu itu, sebuah bunga berwarna biru langit di dalam pot putih terlihat merunduk. "Ketemu! Ayo."
Mataku masih terpaku pada batu itu. Sambil berjalan agak cepat, aku sesekali menengok ke kiriku, memastikan malaikat mungil di sampingku ini tidak terjatuh karena mencoba untuk berjalan secepat aku. Tapi, sepertinya, justru dia yang langkahnya yang lebih cepat, sehingga seakan-akan malaikat mungil ini menarikku.
Sesampainya di tempat tidurnya, si malaikat mungil langsung berjongkok. Dengan cekatan, dia mengeluarkan bunga yang layu dari dalam pot putih itu, dan meletakkan bunga yang sama yang lebih segar sebagai penggantinya. Aku pun hanya bisa tersenyum melihatnya. Bangga sekaligus iba.
"Ayo, Nina kecil. Kasih tau bunda," kataku, ketika aku rasa malaikat mungilku terlalu lama berdiam diri. Bahkan di depan bundanya, dia masih malu.
"Bunda, ini Nina. Tau gak, bunda? Kan SD Nina mau bikin drama. Nah, buat drama itu, Nina dan teman-teman Nina harus audisi dulu, supaya dapat peran di dramanya itu. Coba tebak deh, bunda, Nina dapat peran apa? PUTRI!! Nina dapat peran jadi putri, bunda!!! Katanya, nanti Nina harus make gaun paling cantik sedunia. Terus Nina juga nanti didandanin, biar jadi putri paling cantik sedunia."
Si malaikat mungil pun terdiam sejenak. Beberapa saat kemudian, "Tapi, menurut Nina, bunda tetep jadi putri yang paling cantik sedunia. O iya, bilangin ke Allah juga ya, bunda, supaya Nina bisa lancar di dramanya. Dan bunda harus datang!! Kalaupun Allah gak kasih ijin, bunda tetep harus datang! Tapi, Nina yakin Allah akan kasih ijin kok."
Lagi-lagi, aku tak tahan untuk tidak tersenyum. Satu tanganku pun mengusap sudut mata kiriku."Ya udah, Nina sama Ayah pulang dulu ya, Bunda. Selamat ulang tahun yang ke 31 ya, bunda. Maafin Nina juga, bunda, karena udah bikin bunda dipanggil Allah. InsyaAllah, Nina akan naik kelas 2 nanti dengan nilai yang tinggi."
Aku pun ikut berjongkok di samping sang malaikat mungil, dan sambil memeluknya, aku berkata, "Selamat ulang tahun ya, Nina. Dan selamat tidur dengan tenang." Aku mencium jari telunjukku, dan mengusapnya di atas rumput tempat peristirahatan terakhir Nina. Kenangan selama 10 tahun terakhir pun mulai kembali.
5 tahun setelah pernikahan kami, akhirnya Nina bisa hamil. Akan tetapi, karena tubuhnya yang lemah, Nina tidak selamat, setelah melahirkan malaikat mungil di pelukanku sekarang. Bantuan langsungnya mungkin sudah berhenti, tapi bantuan-bantuan lain mulai berdatangan dalam bentuk keajaiban. Seri novelku tentang perjalananku dan Nina yang laku keras. Film yang dibuat dari novel itu. Dan, sekarang, malaikat mungil yang ada di pelukanku. Nina kecil adalah keajaiban terbesar yang pernah aku miliki, dan itu semua karena bantuannya.
Terima kasih ya, Nina. Tenanglah disana bersamaNya.
.
.
.
.
.
.
Lambaian kerudungnya menarikku kembali ke realita. Aku pun mengangkat tangan kananku. "4:17" adalah angka yang sekarang terpampang di sana. Wanita itu masih berdiri di sana. Dan aku masih terpaku berdiri, di titik yang sama, sejak 2 menit yang lalu. Aku sendiri pun tak percaya, betapa jelas seluruh adegan itu bermain. Tergambar dengan jelas, sejelas fatamorgana. Tapi, hanya sebatas itu.
Langkahku membawaku semakin dekat dengan wanita itu. Degup jantungku yang semakin kencang menggedor-gedor dinding dadaku. Ia seakan ingin keluar, menamparku sekeras mungkin di kedua pipi, dan berteriak, "LAKUKAN SAJA!!!," tepat di depan wajahku.
Tapi, saat ini, otakku yang berbisik, "kamu hanya akan mempermalukan diri sendiri...," lebih menguasaiku.
Tiba-tiba, aku berhenti. Tepat di samping wanita berkerudung ini, aku berhenti. Entah di detik ke berapa. Entah karena dorongan siapa. Aku tiba-tiba memutuskan untuk memenuhi undangan kerudungnya yang melambai-lambai.
Aku pun menarik nafas yang dalam.
"Boleh tau gak, ini jam berapa?"
Oleh: Alvin Rahmatollah
0 Comments:
Posting Komentar